TOR DISKUSI PENYELESAIAN MASALAH PAPUA
Latar Belakang
Latar Belakang
Pada bulan Juli dan Agustus 2005, pemerintah Indonesia dan masyarakat dikejutkan dengan berbagai berita mengenai pembahasan HR 2601 (rancangan undang-undang dari House of Representative Amerika Serikat) mengenai penyelesaian masalah Papua yang diusulkan oleh anggota House of Representative AS. Menurut Christianto Wibisono, masalah serius dari HR 2601 adalah selain mengungkap fakta sejarah bahwa Penentuan pendapat rakyat tahun 1969 (Pepera 1969) sebagai bukan act of free choice yang sesungguhnya, maka dokumen itu juga merujuk kepada situasi dan kondisi kontemporer yang memerosotkan harkat RI di mata dunia internasional. Khususnya dalam citra RI sebagai negara demokratis karena adanya praktik tidak terpuji, seperti pembunuhan Munir dan penembakan dua warga sipil AS di Timika. Semua itu disebut dalam satu nafas dengan praktik pelanggaran HAM dan demokrasi terhadap warga asli Papua selama penguasaan wilayah itu dalam NKRI. (Suara Pembaruan, 16/8/2005).
Sebagaimana telah terjadi di Papua, lembaga Dewan Adat Papua melakukan unjuk rasa dengan cara dengan melakukan tindakan simbolis politik “mengembalikan” kebijakan otonomi khusus kepada pemerintah pusat. Alasannya, pelaksanaan otsus tidak pernah memberi kemajuan berarti bagi Papua. Dewan Adat Papua mendesak pemerintah mengikuti dialog bersama seluruh elemen masyarakat sipil Papua. ”Empat bidang prioritas, pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, dan infrastruktur, tidak menunjukkan perubahan signifikan,” kata Sekretaris Pemerintahan Dewan Adat Papua Fadhal Al Hamid di Jakarta. Sebelumnya Dewan Adat Papua juga bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla, untuk menyampaikan rencana pertemuan evaluasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. (Kompas, 6/8/2005). Menurut Dewan Adat Papua, aksi politiknya itu tidak terkait dengan kelahiran HR 2601 di atas, namun memang berkaitan dengan masalah Papua yang mendasar.
”Selama ini pemberlakuan otonomi khusus tak pernah menghasilkan kemajuan signifikan karena memang tidak pernah ada keseriusan,” ujar Fadhal. Menurut Fadhal, dana otsus memang selalu diberikan. Mulai tahun 2005 dana otsus naik dari Rp 1,2 triliun jadi Rp 1,77 triliun. Namun, penggunaannya tak jelas. Cuma 400.000 dari 1,9 juta warga Papua yang menikmati dana otsus yang Rp 1,77 triliun, yaitu pegawai pemda, pejabat dan keluarganya ”Di Wamena, rumah sakit tidak ada lagi doktor, juru rawat, maupun obatnya. Sekolah tak ada lagi guru, tingkat kelulusan cuma 1.000 siswa tahun ini,” katanya. (Kompas, 6/8/2005).
Mengenai masalah penegakan HAM di Indonesia, dalam pidatonya saat meresmikan Rapat Koordinasi Pelaksanaan Aksi Nasional HAM 2004-2009 di Jakarta, Presiden mengemukakan bahwa posisi dasar pemerintah adalah “HAM yes, Pelanggaran HAM no!” Hal ini dipandang oleh Presiden sebagai amanat konstitusi. Oleh karena itu Presiden meminta agar para kepala daerah memahami isi UUD 1945 tentang perlindungan HAM.
Pemerintah berpendapat bahwa kebijakan Otonomi Khusus di Papua untuk mengurangi kesenjangan, meningkatkan taraf hidup rakyat serta memberi kesempatan kepada warga asli Papua untuk membangun daerahnya. "Oleh karena itu, pemerintah daerah harus pandai-pandai menggunakan kesempatan ini, dan bekerja lebih serius untuk memajukan daerahnya dengan penuh tanggung jawab," kata Presiden saat menyampaikan keterangan pemerintah tentang kebijakan pembangunan daerah di depan sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Jakarta, Selasa. (Media Indonesia, 23/8/2005).
Dalam pelaksanaan otonomi khusus Papua, masih ditemukan berbagai permasalahan. Apalagi karena otonomi khusus Papua masih belum menimbulkan dampak langsung bagi kemajuan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat asli Papua. Oleh karena itu, Presiden mengajak Pemerintah Daerah dan masayakat di Papua dan Irian Jaya Barat untuk segera mengakhiri segala perbedaan dan mulai memfokuskan perhatiannya untuk membangun daerah. Seakan untuk menjawab keluhan Dewan Adat Papua, Presiden menegaskan bahwa pemerintah Pusat telah menyerahkan dana otonomi khusus, sesuai undang-undang, kepada pemerintah Provinsi Papua. Oleh karena itu semestinya dana tersebut dimanfaatkan agar rakyat di Papua dan di Irian Jaya Barat, dapat merasakan manfaat otonomi khusus.
Pelaksanaan selanjutnya dari otonomi khusus di Papua dan Irian Jaya Barat perlu diletakkan pada posisi Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah membentuk kelembagaan MRP sebagai lembaga yang berperan memberikan pertimbangan dan persetujuan, dalam perumusan kebijakan daerah dan dalam rangka mengupayakan kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua.
Hal ini merupakan salah satu masalah tersendiri, karena Mahkamah Konstitusi sendiri telah membatalkan Undang-undang tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat (UU No. 45/1999). Namun pada saat yang Mahkamah Konstitusi juga menegaskan keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat sebagai satu kenyataan legal-politik dan keputusan itu tidak menghapuskan provinsi itu karena dinyatakan tidak berlaku surut. Oleh karena itu, pemerintah nampaknya menegaskan bahwa keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat adalah sah dilihat dari sudut hukum negara Indonesia, dalam hal ini dengan bersumber dari UU No. 45/1999 sampai saat dibatalkannya dan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang tetap mengadakan provinsi tersebut. Ini merupakan suatu perdebatan filsafat hukum tersendiri. Untuk selanjutnya, pemerintah menentukan bahwa pelaksanaan pemerintahan di Provinsi Irian Jaya Barat kini didasarkan kepada Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sama seperti provinsi yang lain.
Problematika
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu memperoleh perhatian sebagai berikut:
1. Pelurusan proses sejarah integrasi Papua kedalam Negara Kesatuan RI sebagai bagian dari pengakuan historis bagi generasi baru Papua.
2. Peran pemerintah dan masyarakat dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan impunitas di Papua.
3. Penyelesaian perdebatan mengenai pemekaran wilayah sebagai strategi efektifitas pembangunan wilayah.
4. Implementasi kebijakan otonomi khusus pada aras yang lebih menyentuh grass root dan persoalan-persoalan praktis rakyat.
5. Implementasi kebijakan otonomi khusus pada bidang kebudayaan untuk melanggengkan kebudayaan setempat sehingga identitas budayanya dapat memperkaya budaya Indonesia.Peran masyarakat internasional dalam menjamin penegakan HAM di Papua dalam kerangka proses integrasi nasional Indonesia.
23 Agustus 2005.
No comments:
Post a Comment