Memberantas pornografi atau mengekang seksualitas?
Beberapa waktu belakangan ini, masyarakat Indonesia diramaikan dengan pembahasan RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang saat ini sedang dibicarakan dalam forum rapat dengar pendapat umum di DPR.
Keinginan memberantas pornografi adalah suatu hal yang baik. Namun forum rapat itu sendiri telah menjadi perhatian banyak orang ketika di dalamnya terjadi polemik antara artis penyanyi dangdut Rhoma Irama dan Inul Daratista.
Jika kita amati secara saksama, persoalannya bukanlah pada pilihan antara setuju atau tidak setuju dengan RUU ini. Karena yang dimunculkan seakan-akan ada perbedaan pendapat antara mereka yang disebut (atau menyebut dirinya) sebagai “penjaga moral” dan mereka yang disebut (atau dituduh) sebagai “pembela kebebasan.” Padahal yang terjadi justru adanya berbagai masukan elemen professional dan akademis dalam masyarakat mengenai fokus dari RUU ini.
Menolak pornografi adalah tindakan yang baik. Namun mencampuri ruang pribadi dan mengekang kebebasan dengan alasan pornografi adalah sesuatu yang dibuat-buat.
Saat ini sudah ada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Penyiaran, dan berbagai aturan hukum yang bisa dimanfaatkan untuk menindak pornografi. Aturan KUHP bahkan lebih lengkap dengan menyertakan larangan perbuatan cabul, yang muatan kejahatannya lebih mendalam ketimbang pornografi. UU Hak Cipta bahkan juga menjangkau sampai kepada larangan ciptaan yang mengandung pornografi. Dalam rancangan KUHP baru, bahkan telah dirancang juga aturan-aturan yang lebih rinci tentang pornografi, percabulan, dan sejenisnya.
Jadi masalahnya bukan pada peraturan melainkan pada pelaksanaan dari aturan-aturan hukum yang sudah ada itu. Jika dirasakan penegakan hukumnya masih kurang, bisa jadi karena perbuatan yang terjadi masih perlu diinterpretasi lagi oleh aparat penegak hukum.
Yang perlu dicurigai sebenarnya adalah munculnya RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi sebagai “bola politik” dari partai politik dan organisasi pendukungnya dalam rangka menggalang kekuatan politik dan memelihara dukungan politik yang telah merosot selepas pemilu lalu. Beberapa pihak bahkan sudah melibatkan “bola agama.”
Pada saat yang sama, muncul pula polemik seputar pemberian ijin bagi penerbitan majalah Playboy edisi Indonesia. Sehingga terjadilah gelombang penolakan di berbagai daerah terhadap penerbitan majalah ini, sekaligus seakan-akan dukungan bagi adanya sebuah RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi.
Padahal penerbit majalah Playboy edisi Indonesia telah menegaskan bahwa majalah ini (yang belum terbit), memiliki format yang berbeda dari majalah aslinya di Amerika Serikat. Selain itu, majalah itu sendiri belum terbit sehingga tidak bisa dipersalahkan atas sesuatu tindak pidana yang belum terwujud sama sekali.
Dalam reportase di televisi nampak dengan jelas, para demonstran anti majalah Playboy sendiri belum pernah melihat dan membaca majalah ini. Jadi apa yang sebenarnya terjadi di balik semua polemik ini? Cukup sah saja untuk mencurigai soal “bola politik” tadi sebagai dorongan utama munculnya semua perdebatan ini.
Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pemutarbalikan masalah dan perancuan (bukan kerancuan, karena ada unsur kesengajaan) dalam memunculkan kesan mengenai persoalan yang dihadapi.
Keadaan ini juga memberi kesan bahwa masyarakat Indonesia selalu reaktif dengan isu dan desas-desus, serta sangat mudah digerakan bagi kepentingan politik jangka pendek. Di negara lain, pornografi dilarang oleh aturan hukum pidana secara rasional saja karena merupakan fakta sosiologis yang tidak sehat untuk membangun masyarakat yang rasional.
Pokok masalah pada RUU ini sebenarnya juga karena menggunakan istilah “Pornoaksi.” Apakah yang dimaksud dengan “Pornoaksi” sebenarnya? Bukankah istilah pornografi merupakan sebuah istilah yang dikenal dengan cukup universal? Nampaknya yang dimaksud dengan “pornoaksi” ini bukanlah pornografi (apalagi karena kedua istilah tersebut karena dipisahkan).
Nampaknya ada usaha memperluas jangkauan hukum ke seluruh ruang publik dan ruang privat masyarakat, alih-alih akan melahirkan penindasan baru bagi masyarakat.
Munculnya istilah “pornoaksi” justru menunjukkan bahwa penyusun undang-undang tidak memiliki pengetahuan sosiologis yang memadai tentang arti konsep pornografi.
Selain itu, istilah pornoaksi justru bermaksud mematikan seksualitas. Karena kaum perempuan bisa saja dilarang untuk berpakaian yang ketat atau sensual pada waktu bernyanyi karena dianggap sebagai pornoaksi.
Bagaimana dengan kaum laki-laki, dapatkah dituntut karena alasan yang sama? Nampaknya tidak, karena RUU ini sendiri disusun dalam pengaruh ideologi patriarki yang cukup kuat serta menindas semangat emansipasi yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Ahli kesehatan reproduksi, dr. Boyke Dian Nugraha, di hadapan DPR menjelaskan bahwa semangat filosofis RUU Anti-Pornografi ini sudah baik tetapi isi RUU ini sendiri keliru dirumuskan. Bahkan isi RUU ini bisa mencampuri urusan pribadi dan menghalangi ekspresi seksualitas yang bersifat manusiawi.
Dalam kata-katanya, dr. Boyke menjelaskan bahwa “Setelah saya membaca RUU ini dan naskah akademisnya, saya berpikir betapa susahnya hidup di Indonesia. Sudah dihajar oleh harga BBM, masalah pribadi pun diurusi oleh negara.”
Dr. Boyke menjelaskan pula bahwa seksualitas adalah sesuatu yang secara alami dimiliki dan melekat pada setiap orang sehingga tidak mungkin dilarang. Adapun erotika adalah perasaan tertarik kepada lawan jenis yang juga tidak mungkin dapat dibatasi oleh pihak lain. Menurut dr Boyke, yang harus diberikan perhatian adalah pendidikan seks untuk memberikan pemahaman dini yang benar kepada remaja mengenai seks sehingga tidak terjebak pada pornografi.
Apa yang dijelaskan oleh dr. Boyke di atas dengan terang menunjukkan bahwa isi RUU ini justru semakin sulit untuk diterapkan, jika nantinya disetujui oleh DPR. Mengapa demikian? Karena RUU ini melarang tindakan yang dapat membuat nafsu birahi orang lain terbangkitkan.
Masalah justru menjadi rumit karena siapakah yang bisa membuktikan bahwa pada waktu melihat gerakan menari seorang artis atau pada waktu melihat cara berpakaian seorang lawan jenis (yang bukan pornografi), maka terbangkitkan hasrat birahi orang lain?
Bagaimana cara pembuktiannya, haruskah yang merasa terbangkitkan melaporkan pihak yang membangkitkan hasrat birahi? Jika hal ini yang terjadi, maka yang patut dipersalahkan mestinya bukan yang dianggap membangkitkan hasrat, melainkan yang terbangkitkan itu karena merupakan urusan pribadi. Kita tidak harus kembali pada masa Eropa kuno dimana aturan berpakaian individupun harus diatur oleh masyarakat.
Bagaimana jika hukum ditegakkan tanpa perlu menunggu adanya pengaduan tanpa melihat apakah akibat sudah terpenuhi atau belum? Jika ini yang terjadi, maka merupakan kekeliruan besar karena tidak ada kepastian hukum dan tidak ada keadilan.
Masalah lain yang sangat besar ialah RUU ini potensial mematikan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Jika yang dikhawatirkan adalah maraknya tayangan media massa yang vulgar tentang masalah-masalah seksualitas, maka tentunya tidak perlu “dihantam” dengan ketentuan pornografi. Cukup dengan ketentuan tentang isi penyiaran yang mendidik dan sehat.
Kesimpulannya, masalah pornografi pada dasarnya bisa ditangani dengan peraturan yang sudah ada. Sedangkan perdebatan yang muncul sekarang ini letaknya adalah pada batasan pengertian yang demokratis, jelas, dan akurat serta teruji tentang pornografi. Bukan pada pengertian sempit, sepihak, dan yang muncul secara tiba-tiba tanpa debat akademis yang kritis.
Oleh karena itu isi RUU Anti-Pornografi perlu diperbaiki agar lebih mencerminkan pokok masalah pada pemberantasan pornografi saja dan tidak perlu diperluas sampaik kedalam ruang pribadi individu warga negara.
Monday, March 06, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment